WHAT'S NEW?
Loading...
Informasi untuk sahabat Inklusi semua. FORSI saat ini mempunyai akun twitter dengan nama @forsiID
<BR>


klik Forsi ID
Baseball dari pass-forward.blogspot.com
Pada sebuah jamuan makan malam dalam acara pengadaan dana untuk sekolah anak-anak cacat, ayah dari salah satu anak bersekolah di sana mengantarkan satu pidato yang tidak mungkin dilupakan oleh mereka yang menghadiri acara itu. Setelah mengucapkan salam pembukaan, ayah tersebut mengangkat satu topik.
“Ketika tidak mengalami gangguan akibat sebab-sebab eksternal, segala proses yang terjadi dalam alam ini berjalan sempurna dan alami. Namun, tidak demikian halnya dengan anakku, Shay. Dia tidak dapat mempelajari hal-hal sebgaimana layaknya anak-anak yang lain. Nah, bagaimanakah proses alami ini berlangsung dalam diri anakku?”
Para peserta terdiam menghadapi pernyataan itu. Ayah tersebut melanjutkan, “Saya percaya, untuk seorang anak seperti Shay, yang mengalami gangguan mental dan fisik sedari lahir, satu-satunya kesempatan untuk mengenali alam ini berasal dari bagaimana orang-orang sekitarnya memperlakukan dia.”
Kemudian ayah tersebut menceritakan kisah. “Pada suatu pagi, Shay dan aku sedang berjalan-jalan di sebuah taman ketika beberapa orang anak sedang bermain baseball. Tiba-tiba, Shay bertanya padaku, ‘Apakah Ayah pikir mereka akan membiarkanku ikut bermain?’ Aku tahu bahwa kebanyakan anak-anak itu tidak akan membiarkan orang-orang seperti Shay ikut dalam tim itu, hal itu akan memberinya perasaan semacam perasaan dibutuhkan dan kepercayaan untuk diterima oleh orang-orang lain, di luar kondisi fisiknya yang cacat.
“Aku mendekati salah satu anak laki-laki itu dan bertanya, apakah Shay dapat ikut dalam tim  mereka, dengan tidak berharap banyak. Anak itu melihat sekelilingnya dan berkata, ‘Kami telah kalah 6 putaran dan sekarang sudah babak kedelapan. Aku rasa dia bisa ikut dalam tim kami dan kami akan mencoba untuk memasukkannya bertanding pada babak kesembilan nanti.’
“Shay berjuang untuk mendekat ke dalam tim itu dan mengenakan seragam tim dengan senyum lebar. Sementara aku menahan air mata di mataku dan kehangatan dalam hatiku.”
“Anak-anak tim tersebut melihat kebahagiaan seorang ayah yang gembira karena anaknya diterima bermain dalam satu tim. Pada akhir putaran kedelapan, tim Shay mencetak beberapa skor, namun masih ketinggalan angka. Pada putaran kesembilan, Shay mengenakan sarungnya dan bermain di sayap kanan. Walaupun tidak ada bola yang mengarah padanya, dia sangat antusias hanya karena turut serta dalam permainan tersebut dan berada dalam lapangan itu. Seringai lebar terpampang di wajahnya ketika aku melambai padanya dari kerumunan. Pada akhir putaran kesembilan, tim Shay mencetak beberapa skor lagi. Dan dengan dua angka out, kemungkinan untuk mencetak kemenangan ada di depan mata Shay yang terjadwal untuk menjadi pemukul berikutnya.”
“Pada kondisi seperti ini, apakah mungkin mereka akan mengabaikan kesempatan untuk menang dengan membiarkan Shay menjadi kunci kemenangan mereka?”
“Yang mengejutkan, mereka memberikan kesempatan itu pada Shay. Semua yang hadir tahu bahwa satu pukulan adalah mustahil karena Shay bahkan tidak tahu bagaimana caranya memegang pemukul dengan benar, apalagi berhubungan dengan bola itu.”
“Yang terjadi, ketika Shay melangkah maju ke dalam arena, sang pitcher sadar bagaimana tim Shay telah mengesampingkan kemungkinan menang mereka untuk satu momen penting dalam hidup Shay, mengambil beberapa langkah maju ke depan dan melempar bola itu perlahan sehingga Shay paling tidak bisa mengadakan kontak dengan bola itu. Lemparan pertama meleset. Shay mengayun tongkatnya dengan ceroboh dan luput. Pitcher tersebut kembali mengambil beberapa langkah ke depan, dan melempar bola itu perlahan ke arah Shay. Ketika bola itu datang, Shay mengayun ke arah bola itu dan mengenai bola itu dengan satu pukulan kembali ke arah pitcher.
“Permainan seharusnya berakhir saat itu juga, pitcher tersebut bisa saja dengan mudah melempar bola ke baseman pertama, Shay akan keluar, dan permainan akan berakhir. Tetapi sebaliknya, pitcher melempar bola melewati baseman pertama, jauh dari jangkauan semua anggota tim. Penonton bersorak dan kedua tim mulai berteriak, ‘Shay, lari ke base satu! Lari ke base satu!’ Tidak pernah dalam hidup Shay sebelumnya ia berlari sejauh itu, tapi ia berhasil maju ke base pertama. Shay tertegun dan membelalakkan matanya.
“Semua orang berteriak, ‘Lari ke base dua, lari ke base dua!”
“Sambil menahan napasnya, Shay berlari dengan canggung ke base dua. Ia terlihat bersinar-sinar dan bersemangat dalam perjuangannya menuju base dua.
Pada saat Shay menuju base dua, seorang pemain sayap kanan memegang bola itu di tangannya. Pemain itu merupakan anak terkecil dalam timnya, dan saat itu dia mempunyai kesempatan menjadi pahlawan kemenangan tim untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dapat dengan mudah melempar bola itu ke penjaga base dua. Namun, pemain ini memahami maksud baik dari sang pitcher, sehingga dia pun dengan tujuan yang sama melempar bola itu tinggi ke atas jauh melewati jangkauan penjaga base ketiga.
“Shay berlari menuju base ketiga. Semua yang hadir berteriak, ‘Shay, Shay, Shay, teruskan perjuanganmu, Shay!”
“Shay mencapai base ketiga saat seorang pemain lawan berlari ke arahnya dan memberi tahu Shay arah selanjutnya yang mesti ditempuh. Pada saat Shay menyelesaikan base ketiga, para pemain dari kedua tim dan para penonton yang berdiri mulai berteriak, “Shay, larilah ke home, lari ke home!” Shay berlari ke home, menginjak balok yang ada, dan dielu-elukan bak seorang hero yang memenangkan grand slam. Dia telah memenangkan game untuk timnya.”
Hari itu, kenang ayah tersebut dengan air mata yang berlinangan di wajahnya, para pemain dari kedua tim telah menghadirkan sebuah cinta yang tulus dan nilai kemanusiaan ke dalam dunia.
Shay tidak dapat bertahan hingga musim panas berikut, dan meninggal di musim dingin itu. Sepanjang sisa hidupnya, dia tidak pernah melupakan momen di mana dia telah menjadi hero, bagaimana dia telah membuat ayahnya bahagia, dan bagaimana dia telah membuat ibunya menitikkan air mata bahagia akan sang pahlawan kecilnya.
Seorang bijak pernah berkata, “Sebuah masyarakat akan dinilai dari cara mereka memperlakukan seorang paling tidak beruntung di antara mereka.”(*)


*Sumber: Diambil dari buku “Monyet dan Kacang Kegemarannya”(Abdul Azid Muttaqin) dengan mengalami perubahan judul.
banner selamat datang
Yogyakarta, Sabtu (06/06) bertempat di Kantor PLD UIN Sunan Kalijaga Forsi kedatangan rombongan mahasiswa dari UKM Peduli Difabel UGM. Mereka adalah Choirul Riski Budiono, Bintang Aulia, Astatia Daninggar, Maria Putri, dan Rahmat Aldi. Kegiatan kunjungan ini merupakan salah satu program kerja tahunan mereka. Acara dimulai dengan sambutan Wakil Ketua Forsi Achmad Shidiq yang sekilas menjelaskan terbentuknya Forsi serta program-program kerja yang akan dilaksanakan setahun kedepan. Selanjutnya sambutan perwakilan UKM Peduli Difabel UGM Coirul Riski yang sebelumnya menyampaikan permintaan maaf dari Ketua Karim Muhammad berhalangan hadir karena ada kegiatan persiapan KKN. Kemudian Choirul membacakan titipan surat sambutan dari Karim.

   Menuju sesi sharing dan diskusi, Abdullah Fikri sebagai moderator mengucapkan selamat datang dan terimakasih dilanjutkan perkenalan anggota kedua organisasi. Perkenalan ini diharapkan dapat terjadi hubungan yang harmonis dan kedepannya dapat menjalin kerjasama terkait kajian difabilitas dan isu inklusivitas. Lalu masing-masing perwakilan divisi UKM Peduli Difabel UGM sharing program Kerja (Proker) mereka.

Aldi dari Divisi Riset menyampaikan Proker dibagi menjadi 2, kecil dan besar. Proker kecil seperti mengadakan kajian setiap dua minggu sekali dengan mengangkat berbagai topik yang terkait dengan difabilitas, pendataan mahasiswa difabel yang bekerjasama dengan Divisi Humas, melakukan advokasi ke pihak universitas dan program majalah dinding dan poster yang ditempel di gelanggang UGM. Proker besarnya yaitu mengeluarkan rilis tiap sebulan sekali dan seminar yang rencananya dilaksanakan bulan September 2015 setelah mahasiswa baru melakukan registrasi. Perwakilan Divisi PSDM memaparkan Proker mereka di antaranya pelatihan bahasa isyarat dan huruf braille, diskusi dan sharing kepada pembina untuk menambah link, dan diskusi internal. Sedangkan wakil Divisi Humas menjelaskan kegiatan divisi ini banyak bergabung dengan divisi lain, seperti kejasama pelatihan bahasa isyarat dan pendataan mahasiswa difabel UGM. Proker lainnya yaitu kunjungan ke SLB, silaturahim, dan sharing inspiratif yang menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif dari dalam dan luar difabel UGM.

Diskusi berlanjut dengan tanya jawab yang antara kedua anggota organisasi. Tak lupa Forsi juga memaparkan rencana program kerja 2015/2016 dari Divisi PSDM, Divisi Advokasi, Divisi Misi, Divisi Dana dan Usaha, dan Divisi Humas. Kemudian penjelasan tersebut juga mendapat tanggapan dan pertanyaan dari UKM Peduli Difabel UGM. Kedua organisasi saling menggali informasi dan pengetahuan sebagai bekal perencanaan dan pengembangan program kegiatan kedepannya. Sebelum sesi ini ditutup Choirul membacakan pertanyaan titipan dari Karim tentang pandangan dan perspektif Forsi mengenai difabel lalu dijawab oleh beberapa teman-teman Forsi sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.

Sharing selesai disusul dengan sesi penyerahan kenang-kenangan dan foto bersama. Acara terakhir Tour de UIN para tamu kunjungan melakukan tour untuk melihat-lihat fasilitas UIN Sunan Kalijaga dalam mendukung aksesibilitas pembelajaran mahasiswa difabel UIN Sunan Kalijaga yang meliputi akses jalan, fasilitas perkuliahan, perpustakaan, Difabel Corner, Masjid UIN Sunan Kalijaga, dan fasilitas lainya. Semoga kegiatan ini dapat mempererat tali silaturahim dan memberikan manfaat bagi kami dan sahabat inklusi dari UKM Peduli Difabel UGM (Iis).



Antusiasme Peserta Jalan Sehat
Difabel salah satu bagian kelompok masyarakat yang rentan tersisihkan. Masih ditemui pandangan masyarakat jika difabel adalah penyandang cacat yang tidak dapat melakukan aktivitas layaknya nondifabel. Tema besar yang diambil dalam peringatan Milad Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga ke-8 yakni upaya penumbuhan kesadaran inklusi kepada masyarakat, terutama terhadap keberadaan difabel. Forum Sahabat Inklusi (Forsi) UIN Sunan Kalijaga ingin mengawali dengan mengajak seluruh masyarakat ikut bergabung dalam kegiatan Jalan Sehat yang diadakan Minggu (03/5) sebagai rangkaian peringatan Milad PLD ke-8 di hari kedua. “Sosialisasi yang paling efektif itu bukan dengan kampanye, bukan dengan seminar atau workshop, tapi dengan interaksi langsung. Biar masyarakat lihat sendiri, bicara langsung sendiri, dan tahu apa yang bisa dilakukan bukan apa yang tidak bisa dilakukan,” ucap salah seorang difabel netra.
        Kepanitiaan jalan sehat terdiri dari relawan dan mahasiswa difabel UIN Sunan Kalijaga. Tidak ada batasan-batasan tertentu karena pada dasarnya setiap orang mempunyai kemampuan, seperti halnya difabel. Hingga menjelang hari H pendaftar jalan sehat melebihi batas kuota dengan calon peserta 300 lebih. Panitia menyediakan kupon gratis, snack, dan sticker bagi peserta yang datang. Rute jalan sehat dimulai dari halaman depan Poliklinik UIN Sunan Kalijaga-Jalan Bimokurdo-Jalan Bimasakti-Jalan Munggur-Jalan Mojo-Jalan Melati Wetan-Jalan Timoho, lalu finish ke tempat semula. Tiba di garis finish para peserta disambut panitia agar menyerahkan kupon. Sambil menunggu pengundian kupon peserta dihibur penampilan Yaketunis Music. Satu persatu difabel menyuguhkan performa mereka, seperti menyanyi dan memainkan alat musik.
Pengundian kupon dimulai. Kupon diundi oleh pengurus PLD, panitia, pengurus forsi, difabel dan relawan. Di sela-sela pembagian doorprize MC membuat sebuah permainan yang melibatkan peserta. Pengurus PLD, ketua panitia, dan pengurus Forsi diminta memberikan pertanyaan terkait tema kepada peserta yang berani maju, seperti tanggal lahir PLD, singkatan Forsi, dan makna dari difabel. Sebagian peserta kesulitan menjawab konteks dari difabel. Ketika pertanyaan dilempar ke peserta lain ternyata belum banyak yang tahu juga. Akhirnya ada satu di antara mereka yang berhasil menjawab. “Melalui kegiatan seperti ini diharapkan dapat mengakrabkan masyarakat dengan difabel. Agar orang-orang tidak memandang “aneh” keberadaan mereka. Secara tidak langsung acara ini juga turut menyosialisasikan konteks difabel yang belum banyak dipahami masyarakat, terlebih teman-teman mahasiswa,” jelas panitia. Kemudian panitia juga mengadakan lomba bahasa isyarat berbentuk komunikata. Sekitar 10 peserta antusias mengikuti permainan tersebut. “Ini juga bertujuan agar bahasa isyarat lebih dikenal oleh masyarakat luas dan tidak hanya difabel rungu saja,” tambahnya lagi.
Satu persatu doorprize dibagikan. Menjelang pembagian hadiah utama panitia meminta Kepala PLD UIN Sunan Kalijaga Arif Maftuhin mengambil kupon undian. Kupon-kupon yang telah diambil lalu dibacakan. Pemenang undian datang mengambil hadiah utama. Sebelum dilakukan simbolisasi penyerahan hadiah utama, pemenang menyampaikan sepatah dua patah ucapan selamat kepada PLD dan pesan-pesan lainnya. Lalu Yaketunis music memberikan penampilan terakhirnya setelah MC menutup acara. Alhamdulillah acara berjalan dengan sukses dan diakhiri dengan foto bersama. Semoga Milad PLD UIN Sunan Kalijaga tahun depan lebih meriah dan bermanfaat lagi (Iis).

Artikel juga dapat dibaca di http://pld.uin-suka.ac.id/2015/05/forsi-tumbuhkan-semangat-inklusi.html





Suasana Seminar Pendidikan Inklusif
         
Yogyakarta, Sabtu (02/05) bertepatan dengan hari pendidikan nasional, bertepatan pula dengan hari lahirnya Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam rangka memeringati Milad PLD ke-8 Forum Sahabat Inklusi (Forsi) UIN Sunan Kalijaga mengadakan seminar pendidikan yang bertema “From Inclusion to Education for All,” bertempat di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga. Pembicara seminar diantaranya Koordinator Pusat Sumber Pendidikan Inklusi (PSPI) Provinsi DIY Setia Adi Purwanta, M.Pd dan Manajer Program Pendidikan Inklusi PLD UIN Sunan Kalijaga Jamil Suprihatiningrum, M.Pd, S.i. Dalam paparannya narasumber Setia Adi menjelaskan mengenai sejarah, pengertian, hingga pentingnya pendidikan inklusif, sedangkan Jamil lebih banyak menjelaskan tentang kiprah PLD UIN Sunan Kalijaga dalam mewujudkan kampus inklusif.

          Kiprah PLD telah berjalan cukup lama, dari sebuah Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) menjadi Pusat Layanan Difabel yang diakui secara struktural oleh universitas. Berkat kegigihan para pengurus, relawan bersama mahasiswa difabel, UIN Sunan Kalijaga berhasil menyabet penghargaan Inclussive Education Award tahun 2013. PLD memfasilitasi UIN Sunan Kalijaga menjadi sebuah kampus inklusif yang menghargai serta mengakomodir kebutuhan mahasiswa berdasarkan potensi dan perbedaan yang mereka miliki, khususnya bagi mahasiswa difabel. Pernyataan itu disampaikan oleh narasumber Jamil Suprihatiningrum.

Setia Adi menjelaskan konsep Education for All lahir dilatarbelakangi oleh kesenjangan sosial ekonomi dunia, sehingga kaum miskin, anak jalanan, kaum minoritas, difabel, dan mereka yang terpinggirkan tidak mendapatkan akses hak pendidikan. Persoalan tersebut direspon dalam bentuk konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jongtien, Thailand tahun 1990, yang menghasilkan Deklarasi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua. Hasil evaluasi tahun kelima pasca deklarasi masih menunjukkan capaian tingkat aksesibilitas perolehan hak pendidikan bagi kelompok rentan/ marginal masih rendah. Kemudian para pemerhati pendidikan khusus mengadakan pertemuan di Salamanca (1994) dan hasilnya berupa pernyataan dorongan kepada negara peserta untuk melaksanakan sistem pendidikan inklusif.

Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang menyertakan dan memberikan peran kepada semua peserta didik dalam satu iklim dan proses pembelajaran bersama tanpa membedakan latar belakang sosial, politik, ekonomi, etnik, agama/ kepercayaan, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik maupun mental, serta latar belakang kehidupan lainnya, sehingga lembaga pendidikan bagaikan sebuah miniatur masyarakat.

Pengertian pendidikan inklusif tidak boleh direduksi hanya sebagai model pendidikan yang membarengkan peserta didik difabel dengan peserta didik non difabel untuk belajar bersama-sama di sekolah reguler saja. Reduksi pemahaman berimplikasi pada pembatasan peserta didik difabel oleh sekolah inklusi, yakni hanya menerima anak difabel yang dapat mengikuti sistem pembelajaran yang berlaku bagi peserta didik nondifabel. Dalam pendidikan inklusif sistem pendidikan disesuaikan dengan kondisi, potensi dan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang harus menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan. Kesalahan lainnya yaitu memberikan sebutan siswa difabel sebagai siswa inklusif. Padahal semua siswa adalah inklusif, karena mereka memiliki kondisi, kebutuhan dan potensi yang berbeda-beda.

Setia Adi berpendapat hambatan pokok pelaksaan pendidikan inklusif di Indonesia yakni munculnya ideologi kapitalisme liberal menjadikan pendidikan nasional sebagai  sistem penanaman investasi pembentukan manusia sebagai instrumen industrialisasi yang menguntungkan pemilik modal. Peserta didik hanya digenjot dengan pengetahuan dan teknologi sehingga mengabaikan aspek pembangunan karakter dan kepribadian mereka. Kuatnya proses komersialisasi pendidikan memengaruhi kebijakan pemerintah atas pelaksanaan pendidikan inklusif dari pusat hingga daerah, sehingga pelaksanaannya masih terkesan setengah hati dan kurang serius. Kuatnya hegemoni dan proses pasar bebas di bidang pendidikan membuat tebalnya keyakinan masyarakat bahwa pendidikan merupakan cara yang tepat agar anak dapat dipertaruhkan untuk dijadikan investasi ekonomi di masa depan, sehingga pendidikan harus bersifat kompetitif dan menolak pelaksanaan pendidikan inklusif yang bersifat kooperatif.

Pendidikan sebagai jalan strategis untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagai individu, masyarakat, bangsa dan negara. Lembaga pendidikan ibarat sebuah taman dengan peserta didik sebagai bunga yang beraneka ragam, dan sistem pendidikan merupakan cara pemeliharaan agar tiap-tiap bunga dapat tumbuh dan berkembang dengan masing-masing keunikannya. “Pendidikan harus menjadi taman bagi siswa,” tutup Setia Adi (Iis).

Artikel juga dapat dibaca di http://pld.uin-suka.ac.id/2015/05/pld-uin-sunan-kalijaga-wujudkan-kampus.html


           Yogyakarta, Sabtu (28/03) Forum Sahabat Inklusi (ForSi) mengadakan musyawarah besar pergantian kepengurusan yang bertempat di Kantor Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sidang dimulai pada pukul 08.30 WIB diawali dengan pembacaan tata tertib oleh Abdullah Fikri disusul dengan sidang Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) periode 2014/2015 kepengurusan yang dipimpin oleh Nunung Masitoh. Sepanjang sidang sempat terjadi diskusi alot antara para anggota dan pengurus ForSi setahun ini. Diskusi membahas berjalannya program kerja, keuangan organisasi, serta laopran lainnya yang saat itu diketuai oleh Mustar Judin. Ketua dan wakil ketua mengawali laporannya, kemudian disusul sekretaris dan bendahara, serta divisi-divisi ForSi seperti SDM, Advokasi, Keagamaan, dan Kehumasan.

                Memasuki waktu dzuhur sesi pertama dan kedua selesai dilanjutkan istirahat, sholat, dan makan siang. Kemudian acara disusul dengan sidang pemilihan ketua Forsi periode 2015/2016 yang diketuai oleh Tris Munandar. Saat itu terdapat 3 kandidat pilihan hasil pertimbangan tim formatur, di antaranya Rohmadi mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial (IKS), Nur Baiti mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI), dan Irmalia Nur Jannah mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), yang tahun lalu juga menjabat sebagai wakil ketua. Ketiganya menyampaikan visi dan misi secara bergantian. Visi dan Misi tak jauh-jauh dari tujuan utama ForSi. Dasar pembentukan ForSi diharapkan dapat menghilangkan garis batas antara relawan dan difabel.

              Pemilihan pun dimulai, panitia membagikan kartu suara kepada semua anggota yang hadir. Mereka harus memilih dan menuliskan nama dari salah satu kandidat terpilih. Setelah semua kartu suara terkumpul penghitungan suara dimulai  yang disaksikan oleh semua anggota serta Achmad Siddiq sebagai saksi utama. Hasil akhir diketahui bahwa Nur Baiti berhasil mengungguli dua kandidat lainnya yakni meraih suara sebanyak 14, disusul Irmalia dengan 7 suara, dan Rohmadi 1 suara. Akhirnya berdasarkan suara terbanyak Nur Baiti terpilih sebagai ketua ForSi periode 2015/2016. Dalam pidatonya Nur Baiti menyampaikan bahwa ForSi bagaikan satu tubuh, “Misal saya ga becus mimpin tolong diingatkan dan bantu. Saya tahu tidak ada orang beriman yang mengejar jabatan, karena tanggung jawabnya yang sangat besar.” Baiti berharap antara pengurus dan anggota kedepannya bisa saling membantu, berjuang, dan memajukan Forsi.

                Terpilihnya Nur Baiti menjadi harapan baru bagi ForSi yang usianya masih seumur jagung ini. Suara harapan itu juga bermunculan dari anggota-anggotanya. “Saya suka karena dia mempuanyai kemampuan (waktu tepat, bagus). Kita siap mendukung Forsi. Kita tunarungu bersemangat belajar di kampus ini, untuk mencapai tujuan tertentu dan cita-cita,” tulis Beni mahasiswa PAI di kertas sewaktu kami mewawancarainya. Wildan mahasiswa PMI Berharap kedepannya ForSi bisa melaksanakan agenda yang telah diprogramkan. Ia juga mengusulkan agar ekstra musik seperti band dapat dijalankan. “Forsi terus berjaya! Saya harap agenda-agenda keagaamaan di ForSi ditingkatkan lagi,” ujar Tri Wibowo Mahasiswa PMI. Sejalan dengan anggota lainnya Ahmad Pujianto mahasiswa Filsafat Agama berharap ForSi dapat menjadi wadah berkembangnya inklusi yang progresif.

Kepala PLD Arif Maftuhin menghimbau sedapat mungkin ForSi menjadi wadah kelompok-kelompok yang berbeda dan sebagai tempat agar para Sahabat Inklusi berkembang. Para difabel dan dan non-difabel dapat tergabung menjadi satu, sehingga menghilangkan pandangan disabilitas dan memandang tiap-tiap orang berbeda sesuai dengan kemampuannya. Sedapat mungkin ForSi dapat menjadi wadah kelompok-kelompok yang berbeda serta tempat para sahabat inklusi berkembang. Harapannya semua relawan maupun para mahasiswa difabel dapat tergabung dalam ForSi ini (Iis).

Pembekalan Relawan Semester Genap 2104/2015

            Yogyakarta, Rabu (11/02) Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bersama Forum Sahabat Inklusi (Forsi) mengadakan agenda rutin “Pembekalan Relawan Semester Genap.” Kegiatan bertempat di Ruang Rapat IV Rektorat Lama UIN Sunan Kalijaga, yang dihadiri oleh para relawan lama maupun baru dan mahasiswa difabel. Kegiatan bertujuan untuk mengenalkan relawan baru mengenai PLD UIN Sunan Kalijaga, difabel, Forsi, dan program kerelawanan PLD.

Acara dimulai dengan sambutan dari ketua Forsi Mustar Judin yang memaparkan sejarah berdirinya Forsi. Sekitar Mei 2014 sahabat-sahabat inklusi mencetuskan ide membentuk sebuah forum bagaimana mengakrabkan antar sesama relawan dan difabel. Sekarang Forsi memiliki 60 anggota dengan programnya yaitu training Bahasa Indonesia bagi mahasiswa difabel rungu dan pelatihan komputer bagi mahasiswa difabel netra setiap hari Sabtu.

               Kemudian dilanjutkan pembukaan dari Kepala Pusat Layanan Difabel Arif Maftuhin, yang diawali dengan ucapan selamat datang kepada para relawan baru. Dalam sambutannya Arif menjelaskan PLD berusaha membantu para mahasiswa difabel untuk membuka diri (disclourse). PLD memberikan layanan admisi, perkuliahan, aksesibilitas hingga taraf advokasi. Namun, PLD juga sempat mengalami dilema, apakah mahasiswa difabel itu harus dilayani atau mendorong mereka untuk menjadi mandiri? Pertanyaan ini sering menjadi bahan perdebatan pihak internal. Jawabannya adalah PLD berada di tengah-tengah keduanya, “jangan sampai satu sisi terlalu memanjakan, namun di sisi lain juga jangan terlalu cuek,” ungkap Arif. PLD menempatkan diri di tengah-tengah kedua permasalahan tersebut. Keberadaan PLD membantu memberikan layanan dalam proses menuju kemandirian mahasiswa difabel.

               Diskusi pengenalan difabel diisi oleh Manajer Program Kajian PLD Astri Hanjarwati yang dimoderatori oleh Ardiyantika. Diskusi diawali dengan pembagian kelompok diskusi masing-masing berjumlah 4 anggota. Setiap kelompok mengidentifikasi mahasiswa difabel sekaligus kebutuhan akses pembelajarannya di UIN Sunan Kalijaga. Mahasiswa difabel UIN terdiri dari difabel netra, difabel rungu wicara, dan difabel daksa. Setelah melakukan identifikasi kemudian didiskusikan bersama. Selain itu, Astri juga memaparkan berbagai kisah sukses para difabel. Ibu Juniati Efendi mahasiswa difabel rungu yang menempuh studi Kedokteran Gigi, Mbak Galuh mahasiswa difabel rungu yang menempuh Pendidikan Psikologi UGM, menempuh S2 di Melbourne University, Ibu Rahmita Harahap berprofesi sebagai dosen, dan Hendi Hogia menempuh pendidikan SI di Universitas Indonesia (UI).

             Pertanyaan muncul dari Arifin, mengapa peraturan di UIN masih banyak yang bertentangan dengan struktur UIN sebagai kampus inklusif? Astri menjawab PLD berangkat dari keprihatinan para dosen. Sebelum memproklamirkan sebagai kampus inklusif, tahun 80’ sudah menerima mahasiswa difabel netra. Maka PLD ada untuk menyadarkan kepada seluruh stakeholder kampus UIN Sunan Kalijaga bahawa isu-isu difabel perlu mendapat perhatian.

                Sesi berikutnya Manajemen Kerelawanan yang diisi oleh Siti Aminah, Manajer Program Relawan PLD. Diskusi diawali dengan pemaparan permasalahan, “Apa yang akan dilakukan ketika melihat teman difabel duduk sendiri, sedangkan teman yang lain asyik bercengkrama? Apa yang akan dilakukan ketika melihat difabel rungu duduk paling belakang? Tidak perlu ragu untuk segera membantu, dicoba terus. Apa yang akan dilakukan Ketika staf PLD minta untuk mendampingi tetapi kita tergesa-gesa? Mencari pengganti, jika benar-benar tidak ada penggantinya akan diusahakan untuk bisa mendampingi.”

                Diskusi menjadi lebih hidup saat memasuki tanya jawab permasalahan relawan dan difabel di lapangan. Ditemukan tidak semua mahasiswa difabel rungu mendapat pendampingan. Masalah lain relawan baru membimbing jawaban ujian difabel netra, ketika ujian TOEC difabel netra meminta tolong untuk mengerjakan tes. Meskipun hanya memberikan arahan jawaban, dalam etika kerelawanan tindakan tersebut tidak diperbolehkan, karena tugas relawan adalah menggantikan mata mereka. Tidakan sejenis juga tidak diperbolehkan semisal difabel hendak mencontek atau meminta relawan mengada-adakan jawaban agar lembar jawaban penuh. Tugas relawan meluruskan bahwa hal itu tidak seharusnya dilakukan. Walaupun ujiannya bersifat open book, relawan harus bisa mengolah sikap bagaimana cara membacakan disertai wanti-wanti agar tidak memberikan jawaban. Masalah lainnya yaitu kurangnya rasa empati relawan. Pada dasarnya empati bukan sekadar rasa kasihan, tapi juga adanya tindakan.

              Selain membekali diri dengan etika kerelawanan, para relawan juga diharapkan dapat membekali dirinya dengan berbagai ketrampilan, seperti cara menyapa difabel netra, cara mengandeng, ketrampilan pendampingan, reading service usahakan agar tidak mengganggu orang lain, asistensi perpustakaan, serta mencari solusi trial and error. Siti Aminah juga memaparkan alur tugas relawan dengan memperhatikan pakaian dan tanda pengenal, contoh sikap dan perilaku, berpamitan pada pengawas saat ujian, cara melakukan pendampingan profesional, serta memfungsikan tongkat ketika menggandeng difabel netra lawan jenis. Siti Aminah berpesan kepada relawan yang hadir, “Niatkan untuk aktualisasi diri, bukan hanya menggali untuk diri sendiri, serta harus berkomitmen.”

               Sesi terakhir diisi dengan sosialisasi jurnal relawan dan pembagian koordinator relawan tiap-tiap fakultas yang dipandu oleh Jamil Suprihatiningrum, Manajer Program Pendidikan Inklusi PLD. Jurnal berfungsi sebagai alat monitor kegiatan kerelawanan. Dalam jurnal tersebut relawan harus mengisi bentuk pendampingan yang dilakukan setiap harinya, menulis catatan pendampingan, serta mencantumkan nama mahasiswa difabel yang didampingi (Iis).   



Artikel juga dapat dibaca di http://pld.uin-suka.ac.id/2015/02/pembekalan-relawan-semester-genap.html